Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia selalu mengikuti pola yang berulang.

Dari Koperasi Unit Desa (KUD) di era Orde Baru hingga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di era reformasi, berbagai program telah diperkenalkan dengan harapan dapat memberdayakan desa.

Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak dari inisiatif tersebut gagal berkembang secara berkelanjutan.

Kini, pemerintah kembali menggulirkan program baru, yaitu Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih), yang akan dibentuk di 70.000 hingga 80.000 desa.

Apakah ini akan menjadi solusi nyata atau sekadar pengulangan dari kegagalan masa lalu?

Pada tahun 1970-an, pemerintah membentuk KUD sebagai ujung tombak perekonomian desa, terutama dalam distribusi pupuk dan pembelian gabah petani.

Namun, setelah hak eksklusif distribusi pupuk dicabut, banyak KUD kehilangan fungsinya dan akhirnya gulung tikar.

Reformasi membawa konsep baru berupa BUMDes yang bertujuan memberikan otonomi ekonomi kepada desa.

Sayangnya, banyak BUMDes tidak memiliki model bisnis yang jelas dan hanya menjadi proyek pemerintah tanpa strategi keberlanjutan.

Akibatnya, banyak yang hanya bertahan sebentar atau sekadar nama tanpa aktivitas ekonomi nyata.

Kopdes Merah Putih digadang-gadang sebagai pusat kegiatan ekonomi desa yang berperan dalam penyimpanan dan penyaluran hasil pertanian masyarakat.

Secara teori, pendirian koperasi di setiap desa tampak seperti revolusi ekonomi.

Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah desa benar-benar membutuhkan koperasi baru?

Saat ini sudah ada berbagai entitas ekonomi seperti KUD, BUMDes, Koperasi Simpan Pinjam (KSP), serta koperasi tani dan nelayan yang telah lebih dulu beroperasi.

Jika Kopdes Merah Putih hadir tanpa koordinasi yang jelas, maka alih-alih memperkuat ekonomi desa, program ini justru bisa menciptakan persaingan antar-entitas yang melemahkan desa itu sendiri.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah keberlanjutan. Sejarah telah membuktikan bahwa koperasi atau badan usaha desa yang tidak memiliki manajemen yang kuat dan pendampingan yang berkelanjutan cenderung gagal.

Apakah Kopdes Merah Putih sudah memiliki sistem tata kelola yang menjamin koperasi ini tidak sekadar lahir, tetapi juga mampu bertahan dan berkembang?

Jika koperasi baru ini hanya menjadi wadah untuk menampung dana tanpa strategi yang jelas, maka kemungkinan besar akan berakhir seperti program sebelumnya—gagal dan ditinggalkan.

Agar Kopdes Merah Putih benar-benar memberikan dampak positif bagi perekonomian desa, pemerintah harus memastikan adanya evaluasi mendalam terhadap inisiatif sebelumnya.

Program ini tidak boleh hanya menjadi tambahan entitas ekonomi desa tanpa koordinasi yang jelas. Sebaliknya, harus ada sinergi dengan koperasi dan badan usaha desa yang telah ada agar tidak terjadi perebutan sumber daya yang justru melemahkan desa.

Selain itu, keberhasilan koperasi tidak hanya bergantung pada modal, tetapi juga pada tata kelola yang profesional serta kebijakan yang fleksibel sesuai kebutuhan dan potensi lokal.

Sejarah telah mengajarkan bahwa sekadar membentuk koperasi atau badan usaha desa tidak menjamin keberhasilan.

Tanpa strategi yang matang, Kopdes Merah Putih hanya akan menjadi proyek ambisius lain yang berakhir tanpa hasil nyata.

Pemerintah harus belajar dari pengalaman sebelumnya dan memastikan bahwa setiap program yang digulirkan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat desa, bukan sekadar kebijakan yang dipaksakan dari atas tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan.

Asep Suryaman
Direktur PuSDek (Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik)