PASURUAN, Projatim.id — Sekretaris DPC POSNU Kabupaten Pasuruan, Andri Firmansyah, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memungkinkan pemblokiran rekening bank yang tidak aktif selama 3 hingga 12 bulan. Ia menilai langkah ini sebagai bentuk “kekerasan finansial” yang justru menyasar rakyat kecil, bukan pelaku kejahatan kelas kakap.

“Ini bukan hanya persoalan administrasi perbankan. Ini adalah bentuk intervensi brutal negara terhadap hak-hak finansial warga negara yang sah,” tegas Andri dalam keterangannya, Kamis (31/7/2025).

Andri menyatakan, kebijakan pemblokiran rekening dormant berpotensi besar menyengsarakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan memiliki akses terbatas terhadap layanan perbankan serta literasi keuangan yang minim. Mereka adalah petani, buruh harian, pedagang kecil, dan kalangan informal lainnya yang tidak menggunakan rekening secara reguler, namun tetap menyimpannya sebagai pegangan masa depan.

“Negara tidak bisa semena-mena membekukan uang rakyat hanya karena tidak ada transaksi selama beberapa bulan. Itu uang halal, hak penuh pemiliknya. Kalau begini caranya, ini seperti merampok dengan legalitas,” ujar Andri dengan nada geram.

Mengutip UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), PPATK memang memiliki dasar untuk mengawasi dan menindak aliran dana mencurigakan. Namun, menurut Andri, pemblokiran rekening tanpa aktivitas bukan tindakan preventif terhadap kejahatan, melainkan bentuk kriminalisasi terhadap orang-orang yang tidak bersalah.

“Kalau alasannya memberantas pencucian uang, kenapa bukan rekening para pejabat korup yang dibekukan? Kenapa bukan bandar narkoba dan mafia tanah yang diburu? Kenapa justru rakyat kecil yang dijerat?” sindirnya.

Andri mendesak agar pemerintah segera mengevaluasi dan mencabut kebijakan ini. Ia juga mengingatkan bahwa hukum seharusnya berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Dalam situasi ekonomi yang makin sulit, negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan predator.

“Kebijakan ini hanya akan memperlebar ketimpangan sosial. Negara harus tahu diri. Jangan sampai rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem keuangan nasional karena merasa diperlakukan seperti kriminal hanya karena tidak tarik setor ATM tiap bulan,” tegasnya.

Suara keras Andri sejalan dengan kritik sebelumnya yang dilontarkan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, yang menuding kebijakan ini sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Baik Andri maupun Hotman sepakat bahwa upaya memberantas kejahatan finansial tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar masyarakat.

“Ini soal hak asasi, bukan sekadar teknis perbankan. Rekening pribadi adalah ruang privat. Negara tidak berhak mengobrak-abrik seenaknya,” tutup Andri.

Polemik ini membuka babak baru dalam ketegangan antara otoritas keuangan dan hak-hak sipil warga negara. Pemerintah didesak untuk lebih bijak, transparan, dan adil dalam menerapkan regulasi, terutama di tengah kondisi sosial-ekonomi yang makin rapuh.