PASURUAN, Projatim.id — Fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg sistem audio pesta dengan suara menggelegar yang marak digunakan dalam berbagai hiburan rakyat memicu riak tanggapan di tengah masyarakat Pasuruan. Fatwa ini dikeluarkan oleh salah satu ulama setempat sebagai bentuk keprihatinan atas dampak negatif dari penggunaan sound system berlebihan yang dinilai mengganggu ketertiban umum dan menyimpang dari nilai adab dalam bermasyarakat.
Menanggapi polemik tersebut, Penasehat Dewan Pimpinan Cabang Poros Sahabat Nusantara (DPC POSNU) Kabupaten Pasuruan, Nurul Huda, S.E., menyampaikan sikap tegas namun penuh kedewasaan. Ia meminta masyarakat tidak terbawa emosi dan tidak membesar-besarkan fatwa tersebut.
“Semua sudah punya tugas masing-masing,” tegas Nurul Huda.
Ia menegaskan, tugas ulama adalah mengeluarkan fatwa. Setelah itu, pelaksanaan dan penerapannya kembali kepada masyarakat dan pihak berwenang. Menurutnya, ini bukan hal baru dalam kehidupan beragama.
“Tugas ulama mengeluarkan fatwa, selanjutnya terserah yang menjalankan. Sama halnya dengan fatwa-fatwa lain yang dianggap merugikan, seperti fatwa haram melakukan korupsi, apakah korupsi jadi berkurang? Jadi gak usah dibesar-besarkan. Hadapi dengan bijak, yang terpenting jangan sampai su’ul adzab terhadap ulama karena ego kita,” tandasnya.
Pernyataan Nurul Huda menjadi pengingat agar masyarakat tetap menempatkan ulama dalam posisi terhormat, meski mungkin tidak semua bisa langsung sepakat dengan substansi fatwa tersebut. Ia mengajak semua pihak untuk tidak reaktif apalagi menyerang balik secara emosional. Justru momen ini bisa menjadi ruang evaluasi bersama untuk menata ulang dunia hiburan yang selama ini berjalan tanpa arah yang jelas.
“Mungkin sekarang saatnya mendengarkan, bukan saling menyalahkan. Menata ulang ruang hiburan kita tanpa mematikan kegembiraan tapi juga tanpa kehilangan arah dan hiburan yang dianggap melanggar batasan,” terangnya.
Menurutnya, hiburan rakyat bukan sesuatu yang harus dimatikan, tapi perlu diarahkan agar tidak kehilangan esensi budaya dan tetap dalam koridor akhlak yang baik. Ia juga menekankan pentingnya tidak menjadikan perbedaan pandangan sebagai pemicu perpecahan.
Fatwa haram terhadap sound horeg, jelasnya, bukan upaya mengekang kegembiraan masyarakat, melainkan bentuk kepedulian ulama terhadap dampak sosial dan moral yang ditimbulkan. Ia menilai sudah waktunya semua pihak duduk bersama, mencari format hiburan yang tetap meriah tanpa melanggar norma dan kenyamanan publik.
Fenomena sound horeg memang telah menjadi sorotan selama beberapa tahun terakhir. Suaranya yang memekakkan, penggunaannya yang sering sampai larut malam, serta muatannya yang kadang menjurus ke arah negatif, kerap dikeluhkan warga. Namun, Nurul Huda mengingatkan agar respons terhadap fatwa ini tidak berubah menjadi konflik sosial, melainkan jadi ruang refleksi untuk perubahan bersama.
Di tengah masyarakat yang mudah terpecah oleh isu kecil, suara penegas dan peneduh seperti yang disampaikan Nurul Huda menjadi sangat relevan. Ia menunjukkan bahwa perbedaan pendapat bukan alasan untuk saling mencaci. Justru, dari sana bisa lahir ruang diskusi dan pembenahan bukan hanya soal sound horeg, tetapi masa depan tatanan sosial yang lebih sehat.
Pernyataan tegas dan jernih ini diharapkan mampu meredam polemik serta mengarahkan masyarakat Pasuruan untuk menyikapi fatwa haram sound horeg dengan kepala dingin, tanpa kehilangan sikap kritis, dan tetap menjunjung tinggi marwah ulama serta nilai-nilai harmoni sosial yang telah lama dijaga bersama.